Abstract:
Banyak perusahaan yang dananya sebagian besar harus tertanam dalam aktiva tetap. Karena manfaatnya yang meliputi beberapa tahun serta besarnya nilai aktiva, mengharuskan pengeluaran atas perolehannya tidak dibebankan sekaligus tetapi dibebankan melalui penyusutan. Dalam banyak hal, akuntansi dan pajak memiliki perlakuan yang sama. Perbedaan utama antara pajak dan akuntansi adalah masalah penentuan apakah aktiva dapat dibiayakan atau tidak. Identifikasi masalah yang diajukan penulis adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana perlakuan akuntansi atas transaksi perolehan, pengalihan dan penilaian kembali aktiva tetap berikut penyusutannya?;(2) Bagaimana perlakuan pajak penghasilan atas transaksi perolehan, pengalihan dan penilaian kembali aktiva tetap berikut penyusutannya?; (3) Sampai sejauh mana harmonisasi antara ketentuan yang terdapat dalam Standar Akuntansi Keuangan dangan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan ? Apakah masih banyak perbedaan di antara keduanya? Secara umum hal-hal yang berkaitan dengan aktiva tetap temasuk penyusutan menurut Akuntansi diatur dalam PSAK no.16 tentang Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-Lain; dan PSAK no. 17 tentang Akuntansi Penyusutan serta PSAK terkait. Sedangkan menurut UU PPh sedikitnya terdapat dalam 6 pasal dalam UU PPh. Aspek pajak atas transaksi inbreng masih samar-samar terutama mengenai pengimplemantasian ketentuan-ketentuan pajak yang telah ditetapkan. Ketentuan pajak bagi investor maupun investee sudah secara eksplisit tercantum dalam UU PPh, akan tetapi ternyata dalam pengimplementasiannya banyak menimbulkan pertanyaan khususnya mengenai nilai yang menjadi dasar untuk penghitungan keuntungan bagi investor dan untuk penghitungan penyusutan aktiva bagi pihak investee. BOT (Built Operate and Transfer) atau Bangun Guna Serah adalah bentuk perjanjian kerja sama yans dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor. Dalam perjanjian tersebut pemegang hak atas tanah (pemilik) memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama mas perjanjian BOT, dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah BOT berakhir. Salah satu penghasilan yang diperoleh investor adalah sewa di mana pengenaan PPh final atas sewa tanah dan/bangunan yang merupakan objek PPh pasal 4 ayat 3 UU PPh. Sehingga penjelasan biaya bagi investor agak tidak relevan apabila dikaitkan dengan pengenaan PPh final atas penghasilan sewa tersebut, karena atas penghasilan yang dikenakan PPh final, biaya yang berkaitan dengan penghasilan tersebut tidak diperkenankan untuk dibiayakan. Salah satu cara yang cukup mudah untuk memperoleh barang modal apabila dana yang diperlukan tidak cutup tersedia adalah dengan cara leasing, lebih dikenal dengan sebutan finance lease (capital ease). Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara yang diatur dalam PSAK dengan UU PPh namun dari perbedaan tersebut dalam hal pembebanan biaya akan tertutupi dengan berlalunya waktu. Dalam hal tajadi pengalihan aktiva tetap, Standar Akuntansi Keuangan (SAK) tidakmembedakan apakah aktiva tersebut digunakan untuk kegiatan usaha atau tidak. Lain halnya dengan ketentuan dalam UU PPh hal ini menjadi sangat penting pada saat mengakui keuntungan atau kerugian akibat pengalihan aktiva tetap. Perbedaan yang terjadi antara nilai historis dengan nilai wajar aktiva yang tercantum dalam neraca akibat perkembangan harga, menimbulkan ketimpangan dalam pengukuran penghasilan Wajib Pajak. Mengatasi hal ini, pemerintah memberikan fasilitas untuk melakukan penilaian kembali aktiva. Hal ini merupakan salah satu peluang yang baik bagi Wajib Pajak dalam melakukan tax planning. Kesimpulan dan saran, sampai sejauh ini, sudah diusahakan adanya harmonisasi antara SAK dengan ketentuan dalam UU PPh. Beberapa masih menimbulkan perbedaan persepsi istilah-istilah dan perlakuan atas aktiva tetap dan penyusutan. Perlu adanya penyempurnaan peraturan-peraturan pajak yang sudah tidak sesuai lagi.