Abstract:
Informalitas perkotaan merupakan fenomena kehidupan sehari-hari di kota Jakarta tetapi belum banyak dibahas, terutama dalam praktik perancangan spasial. Istilah “informalitas perkotaan” mengindikasikan logika pengorganisasian mandiri atas kemampuan masyarakat informal dalam mengatur ruangnya sendiri. Studi dua dasawarsa terakhir telah menunjukkan bahwa informalitas merupakan kompas peradaban dunia modern dan bukan lagi dilihat dari kerangka biner formal/informal. Istilah “informal” kini dihubungkan dengan aturan longgar, suasana santai, hingga reartikulasi kontrol spasial; alih-alih ketiadaan aturan dan kontrol itu sendiri.
Informalitas perkotaan bersifat multidisiplin dan berlokasi untuk mengakses peluang-peluang perkotaan, sehingga wujudnya bervariasi mulai dari permukiman informal hingga perdagangan dan transportasi informal. Dari sekian banyak praktik arsitektur informal, informalitas jalanan, seperti pedagang kaki lima, telah menunjukkan cara ruang kota diproduksi dan dihidupi selain bertindak sebagai manifestasi ekonomi informal yang paling terlihat. PKL merupakan salah satu manifestasi ekonomi informal yang paling mudah terlihat. Mereka menunjukkan bagaimana mereka menciptakan keaktifan dan daya tarik lingkungan perkotaan saat ini.
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki proses integrasi informalitas perkotaan dengan berfokus pada isu-isu spasial (arsitektural) dan (2) mengindentifikasi hasil perwujudan integrasi informalitas perkotaan. Kajian dilakukan dengan metode kualitatif melalui paradigma fenomenologi untuk mengamati integrasi spasial informalitas melalui tiga objek kajian terpilih, Thamrin 10, Jalan H. Agus Salim, dan Jalan Percetakan Negara.
Negosiasi informalitas dalam berbagai skala melalui integrasi spasial informalitas perkotaan berhasil menghasilkan ruang publik kota yang bekerja dengan baik, mandiri, serta dapat menopang dan mengkatalisasi kerangka kerja perkotaan yang lebih besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses integrasi terwujud lewat (1) informalisasi ruang formal dan integrasi aktivitas ekonomi tersebut dengan konteks-konteks perkotaan yang lebih besar di jalan: sosial, politik, dan budaya. Sedangkan materialisasi integrasi spasial informalitas perkotaan diwujudkan dalam Ruang Ketiga, yang keberhasilannya ditentukan oleh (1) adanya hubungan dialektis antara ruang dan hubungan sosial dan (2) adanya integrasi antara ruang, waktu, dan eksistensi individu.