Abstract:
Anak sebagai bagian dari masyarakat memiliki peran yang sangat penting sebagai penerus bangsa. Kenakalan anak pada masyarakat menjadi suatu permasalahan yang mengkhawatirkan. Kenakalan anak tersebut berkaitan erat dengan kriminalitas anak. Salah satu tindak kriminal yang sering dilakukan oleh anak adalah tindak pidana kekerasan seksual. Kekerasan seksual (perkosaan) yang dilakukan oleh anak tidak terlepas dari dampak negatif perkembangan teknologi, globalisasi, pergeseran budaya dan sosial, dan lingkungan. Peraturan yang secara khusus mengatur tindak pidana kekerasan seksual (perkosaan) yang dilakukan oleh pelaku anak masih belum ada. Sehingga untuk mengadili anak pelaku tindak pidana (kekerasan seksual) perkosaan digunakan Pasal 76 huruf E Undang-Undang Perlindungan Anak. Pasal 76 huruf E Undang-Undang Perlindungan Anak, menggunakan rumusan kata “setiap orang” sehingga ruang lingkupnya mencakup dewasa dan anak. Anak pada dasarnya belum berpikir sematang orang dewasa. Selain itu pada Pasal 76 Huruf E Undang-Undang Perlindungan Anak memiliki ancaman hukuman maksimal 15 tahun, yang merupakan pemberatan sanksi dari Pasal 285 KUHP. Pemberatan sanksi tersebut bertentangan dengan asas tumbuh dan kembang anak yang terdapat pada Pasal 17 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa penjatuhan sanksi terhadap pelaku anak dilaksanakan tanpa adanya pemberatan sanksi. Dibutuhkan suatu peraturan yang secara khusus mengatur anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan seksual (perkosaan), sehingga anak kedudukannya tidak dipersamakan dengan orang dewasa dan sesuai dengan pendekatan keadilan restoratif yang terdapat pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.