Abstract:
CV Marasabessy adalah perusahaan yang menghasilkan produk sepatu
berbahan dasar kulit dan bekerja sama dengan Perusahaan Brodo dan Amble untuk
memproduksi sepatu formal dan semi-formal. CV Marasabessy sangat memperhatikan
kualitas sepatu walaupun masih terdapat produk yang tidak memenuhi standar kualitas
yang telah ditetapkan. Salah satu jenis sepatu dengan jumlah produk cacat yang banyak
adalah sepatu Hustley. Dilakukan penelitian terhadap proses produksi sepatu Hustley
bertujuan untuk mengurangi jumlah cacat pada sepatu Hustley dimana dapat tercapai
apabila dilakukan implementasi perbaikan.
Metode yang digunakan adalah Six Sigma DMAIC. Metode Six Sigma DMAIC
dilakukan dalam satu siklus dimana dilakukan analisis berdasarkan DMAIC, yaitu define,
measure, analyze, improve, dan control. Pada tahap define dilakukan identifikasi proses
produksi sepatu Hustley, pembuatan diagram SIPOC, dan melakukan identifikasi critical to
quality (CTQ). Berdasarkan identifikasi, didapatkan delapan CTQ, yaitu cacat noda, cacat
embos, cacat lem, cacat jahit, cacat gurat, cacat pada insole, cacat pada outsole, dan cacat
pada proses finishing. Pada tahap measure dilakukan pengumpulan data historis,
pembuatan peta kendali p dan peta kendali u, serta melakukan perhitungan nilai DPMO
dan level sigma. Nilai DPMO sebelum perbaikan adalah 28.712,871 dan level sigma 3,400.
Pada tahap analyze dilakukan analisis prioritas defect dengan menggunakan
diagram Pareto, analisis penyebab defect dengan menggunakan fish-bone diagram, dan
perhitungan tingkat risiko dengan menggunakan FMEA. Salah satu penyebab cacat noda
adalah area kerja operator yang kotor. Pada tahap improve diberikan usulan perbaikan
berdasarkan hasil analisis penyebab defect. Dari hasil peneltian, diberikan 25 usulan
perbaikan yang dapat diterapkan oleh perusahaan. Salah satu usulan perbaikan adalah
menyediakan lampu pada mesin jahit.
Usulan perbaikan yang diberikan tidak dapat diimplementasikan dikarenakan
adanya pandemi COVID-19. Oleh karena itu, dilakukan perkiraan total defect setelah
perbaikan dengan menggunakan perkiraan nilai occurrence bila usulan perbaikan
diimplementasikan pada tahap control. Penggunaan nilai occurrence tidak memberikan
hasil yang mutlak namun digunakan sebagai penggambaran apabila perusahaan
melakukan implementasi usulan perbaikan.