Abstract:
Ruang pertunjukan teater tradisional membutuhkan performa akustik yang optimal untuk mengakomodasi perpaduan fungsi dialog dan musik di dalamnya. Auditorium Teater Wayang Orang Sriwedari dirancang atas dasar filosofi kebudayaan Jawa Kuno, yang terealisasikan pada elemen arsitektur bangunannya. Seni teater Jawa Kuno merupakan aliran seni yang terikat oleh aturan seni budaya Keraton sehingga masih menerapkan bentuk Rumah Joglo yang memiliki bentuk simetris dengan sisi sejajar tanpa pengolahan. Pada tahun 1994, transformasi pragmatis dilakukan untuk meningkatkan kualitas pertunjukan teater. Ruang pertunjukan yang bersifat semi terbuka diubah menjadi tertutup dengan penerapan material kaca sebagai ganti material ram kawat pada dinding. Pemilihan material kaca ini didasari atas konsep Jawa Kuno agar masyarakat kecil tetap dapat menikmati pertunjukan dari luar gedung. Akan tetapi, hal ini juga menimbulkan efek samping pada performa akustik dalam ruang pertunjukan berupa pemusatan bunyi dan gema.
Pada penelitian ini akan dilakukan pengamatan mengenai pengaruh bentuk Rumah Joglo dan penerapan material kaca terhadap performa akustik menggunakan metode deskriptif evaluatif. Pada penelitian dilakukan pembahasan mengenai teori bentuk, material pelingkup ruang dan teori akustik ruang pertunjukan ideal, lalu membandingkan teori tersebut dengan hasil pengujian dan pengamatan di lapangan, perhitungan, serta model simulasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui distribusi suara dalam ruang melalui beberapa parameter akustik berupa waktu dengung, kekerasan suara, C80, dan D50 dengan menggunakan sumber suara langsung dan pengeras suara eksisting. Pengambilan data persepsi juga dilakukan untuk mendukung hasil perhitungan dan pengujian.
Hasil penelitian menunjukan bahwa bentuk ruang simetris bilateral pada Rumah Joglo dapat meningkatkan performa akustik melalui pantulan suara ke arah penonton pada sisi kiri dan kanan secara langsung. Efek samping berupa pemusatan bunyi terjadi pada titik tengah koridor sirkulasi dan pada area panggung akibat kurangnya material penyerap dan pendifusi bunyi. Penerapan material kaca secara sejajar membuat nilai waktu dengung menjadi panjang. Bentuk panggung mendukung terjadinya pantulan langsung suara musik pada kaca, sehingga suara musik terdengar lebih keras. Secara komersil, hal ini justru menguntungkan karena membuat suara musik Jawa menjadi primadona dalam setiap pertunjukan mengingat 68% penonton merupakan turis non-lokal yang berbahasa asing. Sementara itu, sistem perletakan pengeras suara eksisting tidak efektif untuk meningkatkan performa akustik dan pendistribusian suara dalam ruang.